Dua Garis Biru
Anggapan
bahwa film ini menjerumuskan seperti yang sebelumnya pernah dituduhkan, agaknya
terbantahkan dengan kesuksesan film ini lewat respon positif pada pemutaran
hari pertamanya. Tema yang diangkat dalam film ini nyatanya berasal dari
masalah yang kerap terjadi dan dekat dengan kehidupan kita, yaitu pernikahan
dini, yang membutuhkan perhatian untuk disimak sebagai jalan menuntaskan
persoalan.
Film
ini dibuka dengan cerita tentang hubungan Dara (Zara JKT48) dan Bima (Angga
Yunanda), yang berani melanggar batas hubungan remaja sebab gejolak asmara
kawula muda, dan berakhir pada pernikahan dini sebagai bentuk tanggung jawab
mereka.
Konflik
dalam film debut sutradara Gina S. Noer ini dihadirkan dengan tidak sembrono,
sewajarnya sesuai dengan apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat hari ini.
Film
ini nggak menampilkan banyak dialog untuk menegaskan sebuah pesan. Karena
memang apa yang ingin disampaikan film ini adalah hal yang sangat dekat dengan
kehidupan kita. Cerita meluncur melalui semiotika yang bertebaran, yang
hebatnya nggak ngajak penonton untuk mikir terlalu jauh apa maksudnya. Seperti
adegan dua orang yang saling tatapan, ondel-ondel, dan buah stroberi yang
hancur diblender, untuk sebuah pemaknaan yang sederhana.
Selain
itu, untuk tidak mendramatisir sebuah adegan dengan adegan “serius”, film ini
menampilkan sisi komedi dengan porsi yang pas. Dan terkadang muncul dalam
kegetiran. Seperti saat Dewi (Rachel Amanda) kakaknya Bima marah-marah karena,
akibat dari “bablas”nya pergaulan adiknya itu, pernikahannya yang sudah
direncanakan menjadi batal. Dua pertanyaan kocak muncul dalam adegan ini,
sebenarnya yang disesali sang kakak adalah kebodohan sang adik, atau
pernikahannya yang musti batal?
Bima
dan Dara
Bukan
saja karakter tokoh utama yang dibuat kuat oleh Gina, melainkan seluruh tokoh
yang terlibat di dalam frame. Tetangga-tetangga Bima dengan jelas berhasil
merepresentasikan kehidupan kaum urban, yang mana dalam konteks pernikahan dini
sering menjadi korban. Atau Asri Welas yang dengan humornya berhasil
menggambarkan sikap kebanyakan masyarakat kita ketika mengetahui adanya
kehamilan dini.
Ditambah
kehadiran beberapa pemain senior seperti, Cut Mini dan Arswendy Bening Swara
sebagai orang tua Bima, serta Lulu Tobing dan Dwi Sasongko sebagai orang tua
Dara, gambaran sikap dalam perbedaan strata sosial menghadapi sebuah masalah
menjadi sempurna.
Zara
JKT48 yang memerankan Dara, tampak begitu matang dalam debutnya sebagai pemeran
utama. Ekspresi dan pesan secara jujur berhasil dia antarkan ke pemahaman
penonton. Keberhasilan film ini tentunya juga kesuksesan Zara, yang diimbangi
dengan Angga Yunanda sebagai pemeran utama. Angga bahkan berhasil berdialog
dalam “diam”nya, sebagaimana narasi film ini memang nggak banyak dialog,
sebagai ruang untuk penonton lebih jauh bisa memaknai.
Dara
Sinematografi
yang dihadirkan dalam film ini sangat membantu penonton untuk memaknai tiap
adegan dengan tepat. Seperti contoh, pengambilan gambar di lokasi rumah Dara
cenderung mengandalkan close up, karena kemewahan nggak perlu banyak detil
untuk menunjukkan diri. Sedangkan untuk pengambilan gambar di rumah Bima,
cenderung mencakup lanskap dan detail interaksi masyarakat kampung kota lengkap
dengan persoalan-persoalan yang ada.
Selain
itu, nggak ada kesuraman yang berarti ditonjolkan dalam detil visual film ini.
Meski problema yang dihadapi kedua tokoh adalah persoalan serius, tapi lewat
warna-warna dan detail yang lembut, film ini memberi arti kepada penonton
bahwasanya harapan itu selalu ada untuk memperbaiki, dan nggak ada yang bisa
menghakimi masa depan dengan kejadian masa kini.
Scoring
dan musik yang ada pada film ini juga menyatu dengan sederhana. Pemilihan
soundtrack yang sangat anak remaja ini juga sangat membantu tersampaikannya
pesan dengan baik ke penonton.
Dara
dan Bima
Film
ini ibarat katarsis bagi yang pernah bersalah sebagai orangtua, anak atau
anggota keluarga, dan menjadi momentum untuk bisa memaafkan diri dan orang lain
dalam proses menuju lebih baik. Lebih jauh, bisa dimaknai sebagai kritik
terhadap belum maksimalnya usaha pengurangan jumlah kehamilan dini dan edukasi
seksual pada remaja Indonesia.
Film
ini penting dan perlu ditonton dengan melepaskan terlebih dahulu kacamata
moralis konservatif kita, sebagai upaya pencegahan bablasnya batas hubungan
sehat, dan sebagai penyadaran bahwa pendidikan seks yang komprehensif adalah
penting. Sebab pemahaman seks adalah hakikat dari perjalanan mengenal diri
sebagai manusia.





Komentar
Posting Komentar